KARTINI

Kartini Adalah Muslimah Da’iyyah Pada Zamannya

 

Sejauh mana kita mengenal ibu Kartini ? Apakah hanya sebatas syair dalam lagu yang berjudul Ibu Kita Kartini ? Sudahkah kita tahu apa yang sesungguhnya ibu Kartini perjuangkan ? Apakah cukup mengenang perjuangan beliau hanya dengan memperingati jasa-jasanya melalui berbagai seremonial ? Tentu saja kita perlu mengetahui kejelasan sejarah mengenai apa yang beliau perjuangkan. Karena adalah sebuah tindak kedzaliman dengan mengatasnamakan pewaris perjuangan ibu Kartini terhadap sesuatu yang tidak diperjuangkan oleh beliau.

Kenyataannya saat ini kita tidak lagi mampu membaca sejarah perjuangan Kartini yang tidak lagi utuh. Tetapi kita bisa mengetahui hakikat perjuangan beliau melalui surat-suratnya yang kemudian dikumpulkan menjadi sebuah buku Door Duisternis Tot Licht. Inilah bukti yang paling autentik tentang cita-cita seorang Kartini. Surat-surat yang berisi dialog kartini dengan teman-teman pena-nya (yang ternyata para missionaris Kristen dan agen-agen gerakan feminisme yahudi).

Surat Kartini Kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902 : “Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”

Kesempatan mengenyam pendidikan dan pengajaran bagi kaum wanita, itulah hal yang diangkat oleh Kartini agar mendapat perhatian. Bukan persamaan dalam segala hal antara laki-laki dan wanita yang disebut-sebut sebagai emansipasi oleh kebanyakan orang saat ini. Apalagi perjuangan yang didefinisikan sebagai persamaan antara laki-laki dan wanita di berbagai lapangan kehidupan. Demikianlah ibu kita Kartini, pahlawan yang memperjuangkan pendidikan kaumnya (wanita) agar dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik sebagai ibu generasi.

Nilai Islam itulah yang diperjuangkan ibu kita Kartini. Perjuangan yang sejalan dengan ajaran Islam, bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak sama dalam hal menuntut ilmu.kalau dilihat dari surat-surat ibu kartini, dapat kita cermati bahwa pemikiran beliau terhadap kesempatan mengenyam pendidikan dan pengajaran bagi kaum perempuan yang kemudian beliau perjuangkan merupakan hasil dari interaksi beliau dengan Al-Qur’an. Perubahan persepsi tentang Islam setelah beliau bertemu dengan ulama besar (Kyai Sholeh Darat) dalam pengajian keluarga di rumah pamannya di Demak. Terlebih setelah beliau mendapatkan hadiah perkawinan berupa terjemah Al-Qur’an dalam bahasa Jawa dari Kyai Sholeh.

Sebelum bertemu dengan Kyai Sholeh, Kartini pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan dengan guru mengajinya yang dianggap tidak mampu menjelaskan hakekat Islam. Al-Qur’an tidak lebih hafalan-hafalan yang tidak dimengerti artinya.
Surat Kartini kepada Stella, 6 nopember 1890: “Mengenai agamaku, stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang ummatnya mendiskusikan dengan ummat agama lain. Lagipula sebenarnya agamaku Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tetapi tidak diajar makna yang dibacanya.”

Demikianlah sikap kritis Kartini yang membuat Kyai Sholeh tertegun ketika dalam usia belasan tahun bertanya dengan nada protes kepadanya, “Kyai, perkenankanlah saya menanyakan bagaimana hukumnya apabila ada seorang berilmu, namun dia menyembunyikan ilmunya?” Kyai sholeh balik bertanya, “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”, Kartini menjawab,”Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Qur’an yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hatiku kepada Allah. Namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Qur’an itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?.”

Pandangan Kartini tentang Islam kemudian berubah, terutama setelah ia dihadiahi Kyai Sholeh terjemah Al-Qur’an dalam bahasa Jawa dengan judul Faizhur Rahman Fit Tafsiril Qur’an. Terjemahan yang terdiri dari 13 juz, mulai surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Perubahan itu terlihat pada isi surat-suratnya yang mengkritisi budaya Eropa dan sikap tegasnya terhadap missi Kristenisasi yang melingkupi bangsanya.

Surat Kartini untuk EE. Abendanon, 27 Oktober 1902: “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban”.

Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 10 Juli 1902: “Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa, atau orang jawa yang kebarat-baratan”.
Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 21 Juli 1902: “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat ummat agama lain memandang agama Islam patut disukai”.

Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 12 Oktober 1902: “Dan saya menjawab, tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepada-Nya. Kami ingin mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika sebaliknya tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah”.
Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 1 Agustus 1903: Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Allah. Tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dialah yang dapat menyembuhkan…ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu hamba Allah”.

Subhanallah, dialah ibu kita Kartini. Bukan sekedar pahlawan Indonesia, tetapi pahlawan Islam pada zamannya. Kartini adalah seorang aktivis dakwah muslimah yang memperjuangkan nilai Islam, memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan agar dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik sebagai ibu generasi Islam, ibu yang cerdas pemikirannya, tegas pribadinya, teguh pendiriannya, dan teguh keyakinan terhadap agamanya. Inilah semangat ibu Kartini yang perlu kita teladani.

Sumber: Buletin Da’wah Wa Islama (diterbitkan oleh yayasan KAJASHA: keluarga Alumni Jama’ah Shalahuddin UGM).

 

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan antum antum berkomentar dengan hati nurani dan tidak mengandung SARA,syukran katsiran.JAZZAKUMULLAH KHAIRAN.

Copyright @ 2013 WANITA.